Minggu, 12 Juni 2016

SISTEM PENDAFTARAN TANAH YANG DITERAPKAN DI INDONESIA



HUKUM AGRARIA

SISTEM PENDAFTARAN TANAH YANG DITERAPKAN DI INDONESIA

 


HAERUL RIJAL RUSDI

201410110311357
 Faculty Of Law Muhammadiyah University Of Malang






Pendahuluan
A.   Latar Belakang
            Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya dilakukan untuk tanah-tanah yang belum didaftarkan atau belum pernah disertifikatkan, hal ini sesuai dengan ketentuan PP Nomor 10 Tahun 1961 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Maka untuk menjamin kepastian hukum, maka mendaftarkan hak atas tanah merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini dilakukan guna menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah serta pihak lain yang berkepentingan dengan tanah tersebut. Pendaftaran tanah dilakukan di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berada di wilayah kabupaten/kota.
Di Indonesia sistem pendaftaran tanah masih menimbulkan polemik. Masih banyak masyarakat Indonesia yang sukar untuk dapat mengatasi masalah ini dengan baik. Sebagian besar penduduk mengira masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan uang. Cara instan ataupun cepat yang dilakukan dengan semakin besar mereka mengeluarkan uang maka akan semakin cepat pula penyelesaiannya. Padahal sesuai kenyataan, cara yang diambil ini salah. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang menjadi oknum menyelesaikan urusan dalam pendaftaran tanah menyatakan “uang yang diminta dari para pendaftaran tanah mereka akan masuk ke dalam kas negara dan bukan masuk ke saku pribadi dan proses ini biasa disebut sebagai uang administrasi”.
B.   Rumusan Masalah
1. Sistem Pendaftaran Tanah yang diterapkan di Indonesia
C.   Tujuan Pendaftaran Tanah
1.   Memberikan kepastian hukum/perlindungan hukum.
2.   Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
3.   Tertib administrasi pertanahan

Pembahasan
A.   Pengertian Pendaftaran Tanah

1.    Menurut Bachtiar Effendie, S.H.
Pendaftaran tanah adalah usaha mengadakan :
a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (sama   dengan bunyi pasal 19 UUPA ayat 2).

2.    Menurut Rudolf Hermanses, S.H.
Pendaftaran tanah adalah pendaftaran atau pembukuan bidang-bidang tanah dalam daftar berdasarkan pengukuran dan pemetaan yang seksama dari bidang-bidang itu.

3.    Menurut PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah, dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian Surat Tanda Bukti bagi tanah-tanah yang sudah ada haknya dan hak milik satuan rumah susun serta hak tertentu yang membebani.

4.    Menurut Haerul Rijal R. (calon S.H)
Pendaftaran Tanah adalah suatu mekanisme yang dilakukan oleh pemerintah dan dilaksanakan bagi masyarkat, sebagai suatu perwujudan atas hak tanahnya dan juga sebagai alat bukti kongkrit untuk memberikan kepastian hukum guna melindungi hak atas tanah bagi pemegan sertifikatnya. Seperti yang telah tercantum secara signifikan dalam pasal 19 UUPA ayat 1-4, pasal 23 UUPA ayat 1-2, pasal 32 dan pasal 38 UUPA.

B.   Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
            Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria: Pasal 19 ayat 1 :

a)         Untuk menjamin kepastian hukum Hak Atas Tanah oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Pasal 2 ayat (2) b & c :
b)         Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
c)         Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum dengan tanah.
Pasal 23 ayat 1 :
Hak milik dan peralihannya dan pembebanannya dengan hak lain harus didaftar.
Pasal 32 ayat 1 :
Hak Guna Usaha (HGU) setiap peralihan dan penghapusannya (didaftar).
Pasal 38 ayat 1 :
Hak Guna Bangunan (HGB) dan syarat-syarat pemberian hak termasuk peralihannya, hapusnya tak harus didaftar.
PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah :
Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan (HPL), syarat pemberian hak, peralihan dan hapusnya hak (didaftar).
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah :
Penyempurnaan dari PP No. 10 Tahun 1961.
C.   Asas-asas Pendaftaran Tanah
            Pendaftaran  Tanah  dilaksanakan  berdasarkan  asas-asas  sederhana,  aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka.
Asas  sederhana  dimaksudkan  agar  dapat  dipahami  dengan  mudah  oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Asas  aman  dimaksudkan  agar  penyelenggaraannya  dilaksanakan  dengan teliti  dan  cermat  sehingga  hasilnya  dapat  semaksimal  mungkin  sesuai  dengan tujuannya menjamin kepastian hukum.
Asas terjangkau dimaksudkan agar pelayanan dapat terjangkau semua pihak terutama pihak ekonomi lemah.
Asas  mutakhir  dimaksudkan  agar  pelayanan  dapat  terjangkau  semua  pihak terutama pihak ekonomi lemah.
Asas terbuka artinya informasi itu tersedia bagi siapapun yang memerlukan. Mengenai  asas  terbuka  ini  dapat  di  kemukakan  bahwa  tidak  semua  informasi dapat   diberikan   kepada   si   pemohon.   Yang   tidak   diperlukan   secara   baik, seharusnya tidak diberikan misalnya, siapa mempunyai tanah di mana.
D.   Sistem Pendaftaran dan Publikasi Tanah
      1.   Sistem Pendaftaran Akta (Registration of Deeds)
            Dalam  sistem  Pendaftaran  Akta  yang  didaftarkan  adalah  akta-akta  yang
bersangkutan  dan  disini  Pejabat  Pendaftaran  Tanah  bersifat  pasip  dimana  ia
tidak  melakukan  pengujian  kebenaran  data  yang  disebut  dalam  akta  yang
didaftar.   Cara   pengumpulan   dan   penyajian   data   juga   melalui   akta-akta
tersebut.  Dan  sebagai  tanda  bukti  haknya  adalah  berupa  Salinan  Akta  yang
sudah  dibubuhi  catatan  pendaftaran  dan  surat  ukur.  Pada  setiap  kali  terjadi
perubahan  hak  wajib  dibuatkan  akta  oleh  Notaris  sebagai  buktinya,  maka
dalam  sistem  ini  data  yuridis  yang  diperlukan  harus  dicari  dalam  akta-akta
tersebut.  Catat  hukum  pada  suatu  akta  bisa  mengakibatkan  tidak  sahnya
perbuatan  hukum  yang  dibuktikan  dengan  akta  yang  dibuat  kemudian  dan
untuk  memperoleh  data  yuridis  harus  dilakukan  apa  yang  disebut  dengan
“Tittle  Search” yang  bisa  memakan  waktu  dan  biaya  karena  diperlukan
bantuan para ahli, dan hal inilah yang merupakan kelemahan dari sistem ini.
            Sistem   ini   dipergunakan   di   zaman   pemerintahan   Hindia   Belanda
menurut    Staatsblad    1834    No.    27    tentang    Ordonansi    Balik    nam
(Overschrijvings  Ordonnantie),  yang  acaranya  adalah  akta-akta  yang  akan
didaftarkan oleh Pejabat Balik Nama atau disebut Overschrijvings Ambtenaar
didaftarkan pada hari yang sama di kantornya dalam suatu Register Akta dan
kepada  pihak  pembeli  selaku  pemegang  hak  yang  baru  atau  pada  Kreditor
pemegang  Hak  Tanggungan  dibuatkan  Grosse  Akta  yang  fungsinya  adalah
sebagai tanda bukti hak.
      2.   Sistem Pendaftaran Hak (Registration of Titles)
            Dalam  sistem  ini  yang  didaftarkan  adalah  haknya.  Hak  tersebut  didaftar
dalam   suatu   Daftar   Isian,   yang   disebut   Register   (Buku   Tanah).   Akta
pemberian  hak  merupakan  sumber  Data  Yuridis  untuk  mendaftar  hak  yang
diberikan  dalam  Buku  Tanah,  demikian  pula  akta  pemindahan  hak  atau
pembebanan   hak   berfungsi   sebagai   sumber   data   untuk   mendaftarkan
perubahan-perubahan    pada    haknya    dalam    Buku    Tanah    hak    yang
bersangkutan.
            Dalam proses  pendaftaran  hak  ini  Pejabat  Pendaftaran  Tanah  bersikap
aktip, sebelum  dilakukan  pendaftaran  haknya  dalam  buku  tanah  dan  pencatatan
perubahan-perubahan  haknya  kemudian,  oleh  Pejabat  Pendaftaran  Tanah
dilakukan   pengujian   kebenaran   data   yang   dimuat   di   dalam   akta   yang
bersangkutan.
            Dalam    sistem    ini,    Buku    Tanah    disimpan    di    Kantor    Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya  setempat  dan  terbuka  bagi  umum.  Dan  sebagai  tanda
bukti hak diterbitkanlah sertipikat, yang merupakan Salinan Buku Tanah.
            Sistem yang dianut oleh PP 24/1997 adalah Sistem Pendaftaran Hak
(Registration of Titles) sebagiamana yang digunakan dalam PP 10/1961, dan
bukan Sistem Pendaftaran Akta (Registration of Deeds). Hal ini terlihat dengan
adanya Buku Tanah (Register) sebagai dokumen yang memuat Data Yuridis dan
Data Fisik yang dihimpun dan disajikan, serta diterbitkannya Sertipikat sebagai
tanda hak yang didaftar.


      3.   Sistem Publikasi Positif
Dalam sistem publikasi positif, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar. Konsekuensi penggunaan sistem ini adalah bahwa dalam proses pendaftarannya harus benar-benar diteliti bahwa orang yang mengajukan pendaftarannya memang berhak atas tanah yang didaftarkan tersebut, dalam arti ia memperoleh tanah ini dengan sah dari pihak yang benar-benar berwenang memindahkan hak atas tanah tersebut dan batas-batas tanah tersebut adalah benar adanya. Negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Sistem ini mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan “title by registration” (dengan pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran menciptakan suatu “indefeasible title” (hak yang tidak dapat diganggu gugat), dan “the register is everything” (untuk memastikan adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya). Sekali didaftar pihak yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya kehilangan haknya untuk mendapatkan kembali tanah yang bersangkutan. Jika pemegang hak atas tanah kehilangan haknya, maka ia dapat menuntut kembali haknya. Jika pendaftaran terjadi karena kesalahan pejabat pendaftaran, ia hanya dapat menuntut pemberian ganti kerugian (compensation) berupa uang. Untuk itu negara menyediakan apa yang disebut suatu “assurance fund”.29
Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, sehingga mutlak adanya register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertipikat hak sebagai surat tanda bukti hak. Dalam sistem pendaftaran hak, pejabat pendaftaran tanah mengadakan pengujian kebenaran data sebelum membuat buku tanah serta melakukan pengukuran dan pembuatan peta. Sistem publikasi positif ini akan menghasilkan suatu produk hukum yang dijamin kebenarannya oleh pemerintah dan oleh karena itu tidak bisa diganggu gugat, sehingga dapat disimpulkan bahwa segi negatif dalam sistem publikasi positif adalah tertutup kemungkinan bagi pihak-pihak yang merasa sebagai pemegang hak yang sebenarnya untuk melakukan gugatan atau tuntutan terhadap segala sesuatu yang telah tercatat dalam sertipikat tersebut karena negara menjamin kebenaran data yang disajikan.
Secara umum, stelsel positif dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut :
a. Pejabat Pembuat Akta Tanah diberikan tugas untuk meneliti secara materiil dokumen-dokumen yang diserahkan dan berhak untuk menolak pembuatan akta.
b. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya berhak menolak melakukan pendaftaran jika pemilik tidak mempunyai wewenang mengalihkan haknya.
Campur tangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Kantor Pertanahan terhadap peralihan-peralihan hak atas tanah memberikan jaminan bahwa nama orang yang terdaftar benar-benar yang berhak tanpa menutup kesempatan kepada yang berhak sebenarnya untuk masih dapat mempersoalkannya.
4.   Sistem Publikasi Negatif
Dalam sistem publikasi negatif, negara hanya bersifat pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran. Oleh karena itu, sewaktu-waktu dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang memperoleh tanah dari orang yang sudah terdaftar tidak dijamin, walaupun dia memperoleh tanah itu dengan itikad baik. Hal ini berarti, dalam sistem publikasi negatif keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif tidak memberikan kepastian hukum kepada orang yang terdaftar sebagai pemegang hak karena negara tidak menjamin kebenaran catatan yang disajikan.
Secara umum, pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif mempunyai karakteristik yakni :
a. Pemindahan sesuatu hak mempunyai kekuatan hukum, akta pemindahan hak harus dibukukan dalam daftar-daftar umum;
b. Hal-hal yang tidak diumumkan tidak diakui;
c. Dengan publikasi tidak berarti bahwa hak itu sudah beralih, dan yang mendapatkan hak sesuai akta belum berarti telah menjadi pemilik yang sebenarnya;
d. Tidak seorangpun dapat mengalihkan sesuatu hak lebih dari yang dimiliki, sehingga seseorang yang bukan pemilik tidak dapat menjadikan orang lain karena perbuatannya menjadi pemilik;
e. Pemegang hak tidak kehilangan hak tanpa perbuatannya sendiri.
f. Pendaftaran hak atas tanah tidak merupakan jaminan pada nama yang terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata lain buku tanah bisa saja berubah sepanjang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik tanah yang sesungguhnya melalui putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.31
Pendaftaran tanah sistem publikasi negatif tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak menjadi pemegang hak yang baru. Dalam sistem ini berlaku asas yang dikenal sebagai nemo plus juris bahwa orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa yang dimilikinya. Data yang disajikan dalam pendaftaran dengan sistem publikasi negatif tidak boleh begitu saja dipercaya kebenarannya. Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Walaupun sudah melakukan pendaftaran, pembeli selalu masih menghadapi kemungkinan gugatan dari orang yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya.32 Subyek hak yang merasa mempunyai hak atas tanah masih dapat mempertahankan haknya dengan cara melakukan gugatan terhadap pihak-pihak yang namanya terdaftar dalam buku tanah.
Bagi pejabat pendaftaran tanah tidak ada keharusan untuk memeriksa atas nama siapa pendaftaran haknya. Pejabat pendaftaran tanah mendaftarkan hak-hak dalam daftar-daftar umum atas nama pemohonnya tanpa mengadakan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap pemohonnya, sehingga pekerjaan pendaftaran peralihan hak dalam sistem negatif dapat dilakukan secara cepat dan lancar, sebagai akibat tidak diadakannya pemeriksaan oleh pejabat pendaftaran tanah. Sedangkan kelemahannya adalah tidak terjaminnya kebenaran dari isi daftar-daftar umum yang disediakan dalam rangka pendaftaran tanah. Orang yang akan membeli sesuatu hak atas tanah dari orang yang terdaftar dalam daftar-daftar umum sebagai pemegang hak harus menanggung sendiri resikonya jika yang terdaftar itu ternyata bukan pemegang hak yang sebenarnya. Pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Dengan demikian sistem publikasi negatif mengandung kelemahan dalam rangka mewujudkan kepastian hukum.
Jadi ciri pokok sistem publikasi negatif adalah bahwa pendaftaran tidak menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah walaupun ia beritikad baik. Haknya tidak dapat dibantah jika nama yang terdaftar adalah pemilik yang berhak (de eigenlijke eigenaar). Hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dan pembeli hak-hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai Stelsel negatif memang telah memunculkan dampak terhadap kepastian hukum itu sendiri. Pemegang hak atas tanah yang dapat membuktikan bukti-bukti yang sah akan dilindungi oleh hukum yang berlaku. Jangkauan kekuatan pembuktian setipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA diberikan dengan syarat selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan, dan orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama lima tahun sejak dikeluarkan sertipikat itu orang yang merasa memiliki tanah tidak mengajukan gugatan pada pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau oleh badan hukum yang mendapat persetujuannya.
Asas itikad baik memberikan perlindungan kepada orang yang dengan itikad baik memperoleh suatu hak dari orang yang disangka sebagai pemegang hak yang sah. Namun asas itikad baik ini, menurut Hoge Raad, merupakan doktrin yang merujuk kepada kerasionalan dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid), sehingga pembuktian itikad baik atas pemilikan hak atas tanah lebih banyak melalui pengadilan. Asas itikad baik dipakai untuk memberi kekuatan pembuktian bagi peta daftar umum yang ada di Kantor Pertanahan.
Dalam asas hukum nemo plus yuris, seseorang tidak dapat melakukan tindakan hukum yang melampaui hak yang dimilikinya, dan akibat dari pelanggaran tersebut batal demi hukum (van rechtswege nietig), yang berakibat perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah ada dan karenanya tidak mempunyai akibat hukum dan apabila tindakan hukum tersebut menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Asas nemo plus yuris memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak yang sebenarnya terhadap tindakan pihak lain yang mengalihkan haknya tanpa sepengetahuannya. Karena itu asas nemo plus yuris selalu terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada pemilik yang namanya tercantum dalam sertipikat dari orang yang merasa sebagai pemiliknya.
Berdasarkan asas nemo plus yuris, maka penguasaan sesuatu hak atas tanah oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Dengan demikian pemegang hak yang sebenarnya selalu dapat menuntut kembali haknya yang telah dialihkan tanpa sepengetahuannya dari siapapun dimana hak itu berada. Hal ini sangat penting untuk memberi perlindungan kepada pemegang hak atas tanah yang sebenarnya. Umumnya asas ini berlaku dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif. 34
Sekalipun suatu negara menganut salah satu asas hukum atau sistem pendaftaran tanah, tetapi tidak ada yang secara murni berpegang pada salah satu asas hukum atau sistem pendaftaran tanah karena asas hukum atau sistem pendaftaran tanah tersebut mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga setiap negara mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Dalam praktik, kedua sistem ini tidak pernah digunakan secara murni. Sistem publikasi positif memberi beban terlalu berat kepada negara sebagai pendaftar. Apabila ada kesalahan dalam pendaftaran, negara harus menanggung akibat dari kesalahan itu. Dalam hukum pendaftaran tanah hak barat, dahulu ada dikenal sebagai lembaga acquisitive verjaring yang dapat mengakhiri kelemahan sistem publikasi negatif. Akan tetapi lembaga ini sudah tidak ada lagi seiring dengan tidak adanya lagi tanah-tanah hak barat dan dengan dicabutnya pasal yang mengaturnya oleh UUPA. Lembaga yang dapat menggantinya adalah lembaga yang dikenal dengan sebutan rechtsverwerking yang dituangkan dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pemegang sertifikat.

E.    Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
     1.  Sistem TORRENS
            Yakni dikenal dengan nama “THE REAL PROPERTY ACT” atau “TORRENS ACT”
            Indonesia dalam sistem pendaftaran tanahnya menggunakan sistem Torrens. Hal ini dapat diketahui dari alat bukti yang dihasilkan yang berupa Buku Tanah dan Sertipikat. Naun sertipikat sebagai hasil akhir proses pendaftaran hak atas tanah hanyalah merupakan alat bukti yang kuat (bukan alat bukti yang mtlak/sempurna) menurut ketentuan UUPA, PP 10 tahun 1961 dan PP 24 tahun 1997.
Kondisi ini terjadi karena sistem pendaftaran tanah kita mengikuti sistem Torrens, tetapi sistem publikasi positif sebagaimana diterapkan dalam sistem Torrens tidak dapat dipakai di Indonesia, Latar belakangnya adalah karena tanah-tanah di Indonesia sebagian besar merupakan hasil pembukaan hutan yang tidak ada tanda buktinya, dan masa dulu pendaftaran tanah tidak dikenal dalam hukum adat. Akibatnya adalah data yang didaftar pada saat sekarang banyak yang belum pasti. Jadi biarpun sistemnya adalah sistem pendaftaran hak (sistem Torrens) tetapi sistem publikasinya belum bisa positif murni, karena sumber data yuridisnya belum pasti, menyebabkan sertipikat sebgai surat tanda bukti haknya merupakan alat bukti yang kuat. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum yang harus diterima (oleh Hakim) sebagai data yang benar selama tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya.
Karena sistem publikasinya negatif (walaupun tidak murni)
Dari ketentuan dalam PP 24 Tahun 1997 diketahui bahwa penggunaan sistem pendaftaran hak tidak selalu menunjukan sistem publikasi yang postif. Sebalinya sistem publikasi positif selalu memerlukan sistem pendaftaran hak. Sistem publikasi yang digunakan di Indonesia adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Tetapi sistem publikasi kita juga bukan negati murni, karena jika sistem publikasi negatif murni maka tidak akan digunakan sistem publikasipendaftaran hak. Selain itu biarpun sistem publikasinya negatif, tetapi kegiatan pengumpulan sampai pnyajian data fisik dan data yurudis yang diperlukan serta pemeliharaannya dan penebitan sertipaktnya dilaksanakan secara seksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Dengan demikian pengadilanlah yang akan memutuskan alat pembuktian mana yang benar dan apaila ternyata datadari pendaftaran tanah tidak benar maka diadakan perubahan dan pembetulan atas keputusan pengadila tersebut. Inilah yang disebut sistem publikasi negatif yang dianut oleh pendaftaran tanah di Indonesia. Dalam banyak kasus, pemegan hak yang memiliki sertipikat hak atas tanah, karena gugatan pihak ketiga dapat berakibat pembatalan sertipikat di tangannya, antara lain kasus Pembatalan Peralihan, Pemecahan dan Penggabungan pada Tanah Hak Milik, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 19 April 1990 No.1300 K/Pdt/1988 jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamh Agung RI tanggal 31 Maret 1993 No.53/PK/Pdt/1991 . Untuk mengatasi tersebut, maka penerapan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah biasanya dibarengi dengan lembaga daluarsa dalam peraturan mengenai kepemilkian tanah. Tetapi UUPA tidak mengenal lembaga daluarsa yang berasal dari sistem hukum barat. UUPA yang pembentukannya berdasarkan hukum adat hanya mengenal lembaga kehilangan hak untuk menuntut. Dalam lembaga rechstverwerking, jika seseorang membiarkan tanah kepunyaannya selama jangka waktu tertentu, tidak terurus dan tanah itu digunakan oleh pihak lain dengan itikad baik maka dia tidak dapat lagi menuntut pengembalian tanahnya dari orang lain tadi. Karena hal ini sama halnya dengan menelantarkan tanah, yang dalam hukum tanah nasional kita keadaan ini dilarang, yang pada akhirnya hak atas tanah yang bersangkutan menjadi hapus (Pasal 27,40,45 UUPA dan pasal 55 PP 40/1996). Dengan demikian dapat dikatankan bahwa si pemilik tanah menjadi tidak dilindungi.
Dalam rangka memberi kepastian hukum kepad para pemegang hak, dalam Pasal 32 aya 1 PP 24/1997 diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat dan syarat apa yang harus dipenuhi untuk dapat merupakan alat pembuktian yang kuat. Pasal 32 ayat 1 PP24/1997 menyebutkan bahwa:
"Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah yang bersangkutan"
            Dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa:
"Selama belum dapat dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupu dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yng tercantum dalam Surat Ukur dan Buku Tanah yang bersangkutan”
            Dengan berlakunya PP 24/1997 di dalam Pasal 32, Maka upaya perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat dapat diberikan dengan dikukuhkannya lembaga rechtsverwerking (pelepasan hak). Mengingat lembaga rechtsverwerking tersebut sudah ada dalam sistem hukum tanah adat, maka ketentuan pasal 32 PP 24/1997 itu tidak membuat ketentuan hukum baru melainkan hanya mgukuhkan lembaga tersebut yang selama ini merupakan bagian dari hukum adat tertulis.
            Selain adanya Pasal 32 PP 24/1997 sebagai lembaga pelepasan hak yang melindungi pemilik tanah juga sudah ada earlier warning agar terhindar dari penelantaran tanah, yaitu dengan berlakunya PP 36/1998 tentang Pemanfaatan Tanah-tanah Terlantar yang juga memberikan batasan waktu yang dapat dianggap telah menelantarkan tanah dan selanjutnya tanah terlantar tersebut menjadi Tanah Negara.
            Adanya ketentua rechtsverwerking dalam PP 24/1997 dalam prakteknya tidak dapat diterapkan sepenuhnya oleh para Hakim mengingat ketentua rechtsverwerking tersebut berasal dari hukum adat yang dituangkan dalam yurisprudensi dan tidak ada kewajiban bagi para hakim untuk mengikutinya